Amir Hamzah merupakan Seorang penyair dan penulis angkatan Pujangga Baru. Sajak-sajaknya bernafaskan keislaman dan berjiwa Ketuhanan. Ia lahir pada hari Selasa, 28 Februari 1911 di Kampung Pekubuan Kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Ia merupakan keturunan bangsawan tinggi Langkat, pasangan Tengku Muhamad Adil yang menjadi pangeran atau wakil sultan yang memerintah Langkat Hulu dengan kedudukan di Kota Binjai.
Pendidikan yang ia tempuh semua berbau Barat, dari Hollandsche Inlandsche School (HIS), MULO, Algemene Middelbare School (AMS) dan Rech Hoge School. Cukup lama ia merantau ke Batavia, Jawa Tengah, dan kembali lagi ke Batavia. Dia gemar membaca dan mempelajari buku-buku sejarah dan kesusastraan Melayu Lama seperti karangan Abdullah in Abdul Kadir Munsyi Hikayat Panca Tanderan, Syair Siti Zubaidah, Hikayat Hang Tuah, juga Qususul Anbia, yakni kisah atu riwayat para Nabi. Ia gemar dengan kesusutraan Arab, Parsi, Turki, India dan Hindu. Dalam Setanggi Timur dikumpulkannya beberapa sajak dari segala negeri di Timur, seperti dari negeri Arab, Parsi, Turki, India, Tiongkok, hingga ke Nippon. Ia juga menerjemahkan Bhagawad Gita. Karya-karya Amir Hamzah begitu kuat dipengaruhi oleh hikayat, syair-syair, kebudayaan dan kesusastraan Melayu. Selain itu sifat dan sikap keagamaannya juga memberi corak kepada sajak sajaknya terlebih nuansa kasih sayang (dia memperoleh itu dari ibundanya yang begitu memberi tauladan akan kasih sayang yang tulus). Hal ini bisa dilihat dalam sajaknya Nyanyi Sunyi. Amir Hamzah tetap setia pada kesusastraan Melayu Lama.
Selain menekuni dunia sastra Amir Hamzah juga aktif di pergerakan kebangsaan. Dia menjadi Ketua Indonesia Muda cabang Solo dan tahun 1930 dalam Kongres Indonesia Muda ia berpidato dalam bahasa Indonesia dengan fasih padahal ketika itu kebanyakan para pemuda tidak menguasai Bahasa Indonesia dan lebih senang menggunakan bahasa Belanda Dia banyak bergaul dengan kaum pergerakan dan mengajar di sebuah Perguruan Nasional. Kritiknya terhadap Hindia Belanda sangat tajam. Sehingga tahun 1937 Pemerintah Hindia Belanda memerintahkan Sultan Langkat untuk memanggil pulang Amir Hamzah ke tanah kelahirannya dan dikawinkan dengan Teuku Kamiliah putri sulung Sultan Langkat, sekaligus dinobatkan sebagai pangeran yang bergelar Tengku Pangeran Indera Pura. Dari perkawinannya itu di karuniai 5 orang anak 4 diantaranya meninggal didalam kandungan dan tinggal seorang yang hidup bernama Teuku Tahura. HB Yasin pun memberikan gelar “Raja Penyair” kepada Amir Hamzah dan pada tahun 1933 ia bersama Sultan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane menerbitkan majalah “Pujangga Baru”. Hasil karya Amir Hamzah dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku, dua buku kumpulan sajak-sajaknya yang terkenal antara lain Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu.
Baca juga: Sejarah Kota Binjai
Sesudah Indonesia merdeka, Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohammad Hasan menetapkan Amir Hamzah sebagai Wakil Pemerintah RI untuk daerah Langkat. Dengan melihat pengalaman-pengalamannya ketika di Jawa. Ia mendukung sepenuhnya Pemerintahan RI di daerah Langkat, sekalipun akhirnya ia justru difitnah dan menjadi korban dari revolusi sosial yang meletus awal Maret 1946 dan digerakkan kaum komunis yang anti-feodalisme. Suasana Sumatera Timur cukup panas dan Amir Hamzah pun akhirnya dibuang keluar Kota Binjai, di Kebun lada dan dipindahkan lagi ke Kuala Begumit tempat pembuangannya terakhir. Hidupnya berakhir tanggal 20 Maret 1946. Nasib yang dialaminya sesuai dengan sajak yang ia tulis:
Mengail ke Pulau Tuntung
Dapat seekor udang galah
Kalau nasib tidak beruntung
Apapun dibuat jadi salah.
Di Jakarta, namanya diabadikan sebagai salah satu taman yang terletak di seputar tugu Monumen Nasional (Monas), yang dikenal dengan Taman Amir Hamzah.
Demikianlah postingan kali ini mengenai “Mengenal Lebih Dekat Amir Hamzah“. Semoga bermanfaat buat Sahabat Binjaisupermal.co.id